GERHANA
CINTA DALAM “MALAM JAHANAM”
KARYA
MATINGGO BOISJE
Oleh
Nia Puspita Sari - 100211400463
Hidup akan menjadi indah
di kala bunga-bunga cinta bertebaran di setiap insan yang mendamba layaknya
pelangi yang menghias angkasa setelah butiran-butiran bening bertebaran di
setiap sudut. Sama halnya seperti ombak pantai yang berkejar-kejaran mengusir
kesunyian bersama lembaran-lembaran hijau yang melambai yang bersatu dengan
nafas angin yang menyelimuti dunia dengan indahnya kebersamaan. Sungguh setiap
insan pasti merindukannya.
Sesuatu yang dianggap
baik belum tentu baik pada kenyataannya. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang
dianggap buruk belum tentu buruk pada kenyataannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa
sering ditemukan fenomena-fenomena di luar dugaan dan sulit dipercaya.
Sebuah drama “Malam Jahanam” karya Matinggo Boisje
menceritakan kehidupan tiga orang tokoh utama, yaitu Paijah, Mat Kontan, dan
Soleman. Paijah dan Soleman sama-sama menyimpan rasa. Bisa dikatakan bahwa
mereka saling mencintai. Hal tersebut bisa dilihat pada dialog berikut.
PAIJAH : (DUDUK DI BANGKUNYA. SOLEMAN MEMANDANG PAIJAH, TAPI PAIJAH
MENGHINDARI PANDANGAN ITU DENGAN MELIHAT KEARAH KEGELAPAN. SUARA KERETA API
DARI JAUH SEMAKIN DEKAT, LALU MELINTAS DERUNYA DIBALIK RUMAH SOLEMAN, DISINI
PANDANGAN MEREKA BERTEMU).
SOLEMAN : (MASIH
MEMANDANGI PAIJAH, MEMASANG ROKOK DAN BERKATA ACUH TAK ACUH) Kau nggak keluar
malam ini Jah?
PAIJAH : (TERKEJUT, MEMBALAS PANDANGAN). Nggak.
Saat Soleman memandang Paijah,
Paijah tak kuasa memandang balik Soleman. Paijah salah tingkah kemudian
melempar pandangannya ke arah kegelapan. Meski begitu, Soleman tetap memandang
Paijah dan seketika itu dia bertanya sesuatu kepada Paijah. Paijah pun langsung
terkejut, kemudian membalas pandangan dan menjawab pertanyaan Soleman. Hal ini
tetap berlanjut meskipun tidak patut dilakukan karena Soleman bukanlah suami
Paijah, melainkan sahabat dari suami Paijah, yakni Mat Kontan.
Mat
Kontan sangat mencintai burung peliharaannya. Mat Kontan sangat bahagia saat
memiliki burung perkutut yang harganya termahal di dunia. Hal ini bisa dilihat
pada dialog berikut.
MAT KONTAN : (
TERTAWA GEMBIRA DAN MELOMPAT). Kau tahu?
SOLEMAN : Apa?
Burung lagi?
MAT KONTAN : (MELEDAK
TERTAWANYA). Ha! Bagaimana kau bisa menebak? Darimana kau tahu itu?
SOLEMAN : (DUDUK).
Saya kira kau tadi ngobrol dengan haji Asan di tikungan gudang lelang. Betul nggak?
Ha?
MAT KONTAN : Ha,
kali ini kau salah tebak! Matamu sudah lamur barangkali! Bukan haji Asan, tapi Pak
Pijat! Tapi itu tidak penting Man. Kau tahu perkutut yang kubawa tadi? Itu
adalah perkutut yang paling mahal harganya di dunia. Uang ikan yang kita dapat
kemarin dari borongan itu, saya belikan semua buat perkutut. Dan kekalahan kau
yang berjumlah lima puluh itu buat ongkos mobil. (MEMANDANG SOLEMAN TERDIAM
DISANGKANYA TAK MEMPERHATIKAN) Ha? Kau tak percaya ha? Mau lihat? Mau lihat?
Mat Kontan terlihat sangat
mencintai anak dan istrinya. Dia takut bila harus kehilangan anaknya yang
merupakan salah satu kebanggaannya. Tapi sayang sekali, dia memberikan ruang
cinta yang terbesar pada burung peliharaannya. Hal tersebut bisa dilihat pada
dialog berikut.
MAT KONTAN : Jangan
takuti saya Man. Itu satu-satunya kebanggaan saya disamping burung dan bini
saya Paijah. Saya telah terlanjur berdoa pada Tuhan agar cuma dikaruniai satu
anak. Kalau si kecil mati tentu hilanglah kebanggaan saya sepotong.
Mat Kontan sangat
menunjukkan kesombongannya. Dia yang memiliki istri cantik, seorang anak, dan
burung peliharaan. Selain itu, dia juga membanggakan keberuntungannya yang
selalu menang saat bermain kartu taruhan empat satu dengan Soleman. Hal
tersebut dapat dilihat pada dialog berikut.
SOLEMAN : Buat
apa saya iri padamu. Kau juga sering membohongi diri sendiri. Ya, kau juga
sering berlagak.
MAT KONTAN : Pasti!
Pasti kau iri pada saya. Kau iri karena saya punya bini yang cantik. Seorang
anak lagi yang bakal cinta pada perkutut bapaknya. Kau juga iri barangkali,
sebab kalau kita main taruhan empat satu kau selalu saja kalah.
Di sela-sela kesibukan
Mat Kontan membanggakan semua yang dimilikinya ternyata dia belum tulus
mencintai anaknya, yakni si Kontan kecil. Akan tetapi, Mat Kontan sudah
berusaha mencintai si Kontan kecil, meskipun cinta terbesar yang
diagung-agungkan adalah cintanya terhadap burung peliharaannya. Hal tersebut
dapat dilihat dalam dialog berikut.
PAIJAH : Apa? Diam? Kalau anak itu mati bagaimana?
MAT KONTAN : Itu
bukan anak saya.
PAIJAH : (MENIRUKAN). Itu bukan anak saya, tapi di warung kau sibuk membanggakannya.
MAT KONTAN : (SADAR
KEMBALI). Ha! Memang anak saya. Memang! Memang ia saya banggakan di mana saja.
Tapi kau juga ikut memikirkan masalah burung ini?!
Mat
Kontan sangat mencintai burung peliharaannya melebihi cintanya pada si Kontan
kecil dan istrinya. Dia nekat akan menghabisi nyawa siapapun yang telah
membunuh burung beonya. Hal tersebut dapat dilihat pada dialog berikut.
SOLEMAN : Laki-mu
pergi?
PAIJAH : Ya, ke tempat nujum.
......................................
PAIJAH : Burung itu mati. Kau tahu kan beo itu? Yang sering kau permainkan
kalau kau kerumah saya?
SOLEMAN : (DATANG
MENDEKATI PAIJAH) Lalu?
PAIJAH : Lehernya berdarah. Dan ia akan bunuh siapa saja yang memotong
leher burungnya itu (DENGAN MATA MENGHARAP) Man.
Cerita ini memberikan pengalaman
berharga yang bisa dipetik. Hal itu adalah seberapapun besarnya cinta kita
terhadap sesuatu, sebaiknya tidak melebihi cinta pada keluarga. Hal yang lebih
penting lagi dari cinta keluarga, yaitu cinta kepada Tuhan yang harus
diutamakan. Kita tidak harus bisa melaksanakannya dalam sekejap karena memang
sulit dan banyak godaan yang selalu menyelimutinya. Akan tetapi, setidaknya
kita senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Orang yang hari ini lebih
baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung, sebaliknya orang yang hari
ini tidak mengalami perubahan yang lebih baik dari hari kemarin adalah orang
yang rugi. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan.
No comments:
Post a Comment