MARJUKI KUSDIANTO DALAM MARKUS
KARYA ZOHRY JUNEDY
Oleh
Firdausya
Lana - 100211406092
Judul
drama ini mencuri hati saya di tengah maraknya skandal Makelar Kasus (MARKUS)
jadi lahan pangan media masa.
Drama
ini menceritakan seorang sarjana hukum bernama Marjuki Kusdianto. Juki lahir
dari keluarga kurang mampu bahkan dari SD sampai SMU, ia menanggung setengah
dari biaya sekolahnya dengan bekerja di pengepakan sayur. Untuk memasuki
perguruan tinggi Kus (nama panggilan lainnya) sempat tidak yakin, namun
ternyata kedua orang tuanya rela menjual setengah sawahnya dan beberapa kerbau
miliknya. Melihat dukungan orang tuanya yang begitu besar, Kus bertekad menjadi
orang sukses, kaya dan bisa menaikkan haji orang tuanya.
Di
kampusnya Juki menjadi orang yang berpengaruh, sebagai ketua BEM ia mampu
mengerahkan masa (mahasiswa) untuk demo menentang kebijakan kampus yang tidak
adil. Setelah enam tahun kuliah akhirnya Juki lulus menjadi sarjana hukum.
Namun pada kenyataannya pengaruhnya di kampus yang begitu besar tidak
membukankan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan. Tak lama berselang akhirnya ia menjadi seorang hakim.
Menjadi
seorang hakim yang idealis dan senantiasa menegakkan keadilan, menjadi
kebanggaan bagi dirinya sendiri. Sampai pada saat ia menerima telpon dari
seseorang yang menyuruhnya untuk memenangkan sebuah kasus, ia sangat menentang
dan sempat menghardik lewat telepon, si lawan bicara akhirnya hanya
menyampaikan bahwa ia sudah mentransfer uang di rekening dengan atas nama Juki.
Karena penasaran akhirnya ia mengecek rekeningnya dan yang ia lihat uang 2
milyar sudah masuk ke rekeningnya. Ia pun seketika menyadari bahwa keadilan
yang ia tegakkan dan idealisme yang ia gadang-gadang tak mampu memberinya dua
milyar. Juki pulang ke rumah dan merubah semua putusan pengadilan untuk
memenangkan uang 2 milyar itu. Hingga akhirnya ia dipenjara, karena menjadi
seorang MARKUS (Makelar Kasus).
Meski
drama monolog ini hanya diperankan satu orang, namun dalam naskah terdapat
beberapa tokoh lain yaitu dosen, sahabat, dan penelepon. Saya hanya tertarik
pada tokoh utama dalam naskah ini. Maka dengan segala keterbatasan saya dalam
wawasan sastra, saya memberanikan diri untuk mengulas tokoh ini.
Rekayasa
pemilihan nama Marjuki Kusdianto yang bisa disingkat jadi MARKUS ini seakan
merupakan penggambaran orang yang memang ditakdirkan menjadi Makelar Kasus,
dengan kata lain ‘untuk menjadi MARKUS adalah bukan pilihan’ bagi tokoh
tersebut. Ideologi ini yang membuat saya jatuh hati pada tokoh bernama
eksentrik ciptaan Zohry Junedy dan menggoda saya untuk melakukan pendekatan (PDKT) pada tokoh ini.
Narasi
awal drama sudah menjelaskan bahwa tokoh ini merupakan seorang laki-laki dan
usianya paruh baya. Berikut kutipannya:
BERPAKAIAN KEMEJA SETENGAH RAPI, SAAT
TERLINTAS KERUT DIWAJAHNYA TERGAMBAR LELAKI PARUH BAYA ITU SEPERTINYA SEDANG
STRESS. (hal.1)
Istilah
kemeja setengah rapi ini mendukung kondisi batin yang tidak baik yaitu stress
yang dijelaskan pada akhir kalimat. Tokoh utama bernama unik Marjuki
Kusdiantopun pertama di kenalkan dengan nada narsisme yang menunjukkan keangkuhan.
Nama saya Marjuki lengkapnya Marjuki Kusdianto’
dengan sedikit penekanan di O’ , membuktikan bahwa saya berdarah jawa...
(hal.1)
Tokoh Juki juga menggambarkan
orang yang sombong karena menikmati pujian dari orang lain.
Nama saya begitu dipuja dan disebut sebut di tiap sudut desa ketika saya
telah berhasil meraih gelar sarjana, sarjana hukum impian saya dan juga mimpi
orang tua saya!!! ‘…..Uyyy, saudara/I anak’e pak midun dah suksesss, uyy si
marjuki udah jadi orang kayaa, HIduPp jukii…’ teriak orang2 kampung hamppir
disetiap sudut desa.
Akhhhh…. Tapi itu kisah masa lalu tentang
kejayaan yang tak akan mungkin kembali.. (hal.3)
Jika memang Juki
bukanlah tokoh yang sombong harusnya pemilihan kata “dipuja” ini tidak digunakan, karena kata ini dedikasinya hanya
kepada Tuhan atau lebih tepatnya memasuki khasanah kepercayaan atau keagamaan.
Ketika kata ini yang dipilih Juki menunjukkan keangkuhannya sebagai orang yang
merasa lebih unggul dari lainnya.
Marjuki adalah orang
yang mudah sekali menyimpulkan segala sesuatu lewat persepsinya sendiri
Lantas saya mau jadi apa?? Apa harus jadi
Germo?? Akhhhh rasanya jawabannya akan sama saja dengan mereka ‘…anak muda tampangmu itu masih baby face
mana ada perawan yang bakalan naksir kamu….‘ (hal.2)
Penggunaan kata “rasanya” meunjukkan sudut pandang
Marjuki yang sudah menyimpulkan permasalahan sebelum itu terjadi. Kutipan lain
yang membuktikan hal yang sama adalah pada halaman 4,
Tapi itu kisah masa lalu tentang kejayaan yang
tak akan mungkin kembali, sekarang saya hanyalah seorang pengangguran sial dan
hari ini tepat 1 tahun setelah kelulusanku dan tepat 1 tahun saya menjadi
pengangguran sial!!! Cita2ku untuk menjadi seorang jaksa atau hakim rasanya
cukup kubawa sampai saat itu sajah,... (hal.4)
Juki menunjukkannya dengan
menggunakan kata yang sama yaitu “rasanya”.
Lewat kutipan di atas juga menunjukkan bahwa Juki adalah orang yang mudah putus
asa. Ada pula kutipan di awal naskah yang menunjukkan bahwa Juki seorang yang
mudah putus asa, berikut kutipannya,
...saya sadar ternyata saya hanyalah keluarga
miskin dan tidak pantas melanjutkan sekolah terlalu tinggi, huftt….akhirnya
saya berpikir kembali untuk mengurungkan niat saya melanjutkan kuliah sebab
jelas tuntutan biaya kuliah sangat mahal... (hal.2)
Dengan hanya menyadari bahwa ia
seorang miskin ia menghentikan cita-citanya untuk kuliah.
Menyentuh dimensi sosiologis,
dijelaskan melalui “saya berdarah jawa”.
Juki terlahir dari keluarga miskin dan susah sekali untuk memenuhi biaya
kuliah. Berikut kutipannya:
saya sadar ternyata saya hanyalah keluarga miskin dan tidak pantas
melanjutkan sekolah terlalu tinggi, huftt….akhirnya saya berpikir kembali untuk
mengurungkan niat saya melanjutkan kuliah sebab jelas tuntutan biaya kuliah
sangat mahal, belum lagi 12 orang adik saya masih kecil-kecil, mereka butuh
biaya juga….!!! Tapi nasib berkata lain, tanpa sepengetahuan saya orang tua
saya nekat menjual hampir separoh sawahnya dan beberapa ekor kerbau, hanya
untuk menyekolahkan saya, saat itulah saya benar2 berjanji untuk serius dalam
kuliah. (hal.2)
Kutipan
di atas menjelaskan secara langsung kedudukan sosial Juki dan keluarganya,
lewat pernyataan “saya hanyalah keluarga
miskin”.
Juki
adalah seorang sarjana hukum Universitas Bukan Bintang Biasa. Berikut kutipan
yang menunjukkan hal itu:
Saya
dikuliahkan di fakultas hukum ternama di Universitas BBB alias Universitas
Bukan Bintang Biasa... (hal.2)
Penggunaan
nama Universitas Bukan Bintang Biasa dalam curiculum
vitae Juki ini jadi sindiran bahwa para MARKUS ini pada akhirnya menjadi
‘Bukan Bintang Biasa’ setelah kepergok melakukan tindak mafia-nya. Ini salah satu kekuatan tokoh untuk memberikan pendidikan
bagi saya. Dan kutipan selanjutnya pada bagian akhir halaman ketiga,
Akhirnya
saya tidak mengecewakan kedua orang tua saya didesa, tidak berlama-lama tepat
genap 6 tahun akhirnya saya terpaksa diluluskan dengan IPK ya standartlah... (hal.3)
Di
kampus Marjuki adalah seorang Presiden BEM yang mampu menggerakkan sekian
banyak mahasiswa untuk menentang kebijakan kampus yang tidak adil.
Setiap ada kebijaksanaan yang dirasakan
bertentangan dengan suara hati mahasiswa, mungkin saya adalah pelopor yang menentang
pihak fakultas ataupun rektorat... (hal.2)
Marjuki
menjadi hakim yang jujur dan idealis dalam memutuskan berbagai kasus,
Belum cukup 5 tahun
saya telah menjadi hakim terkenal, dengan keidealisan yang sama seperti waktu
saya jadi mahasiswa dulu. Setiap kasus-kasus saya putuskan dengan berdasarkan
keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa!!!. (hal.4)
Selama
lima tahun ia menjabat, Juki masih sama dengan masa-masa kuliahnya menjunjung
tinggi idealisme dan menegakkan keadilan. Inilah awal keindahan perpindahan
watak tokoh yang selalu membuat saya penasaran bagaimana pemeran menterjemahkan
dalam aktingnya.
Tokoh Marjuki ini lambat laun menyadari bahwa keadilan dan idealisme yang
ia tegakkan selama ini, belum bisa memakmuran dirinya.
Majuki pada akhirnya mandekam di penjara, berikut kutipannya,
KEMUDIAN
MELENTANGKAN TUBUHNYA SEPERTI HENDAK TIDUR, DENGAN POSISI MEMBELAKANGI
PENONTON: TERLIHATLAH DI BELAKANG BAJU BERTULISKAN: TAHANAN LP CIPINANG.
Ketika membaca atau menyaksikan drama monolog saya lebih banyak mendapatkan
esesnsi olah rasa. Pendapat saya drama monolog ini lebih menarik dari drama yang
dimainkan sekian banyak orang jika dipentaskan dalam teater. Karena fokus
penonton nantinya hanya ada pada satu tokoh dan satu tingkah polah pemeran.
Namun drama monolog bisa jadi pressure
tersendiri bagi pemain tunggal di panggung. Begitu juga Lakon MARKUS ini, Zohry
Junedy menggunakan perumpamaan-perumpamaan simple yang menggali filosofi saya
demi mengambil amanat yang berusaha ia sampaikan.
No comments:
Post a Comment