Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK DRAMA Fany Chusnia

POTRET JUNGKIR BALIK LOGIKA
DALAM DRAMA OPERASI PUTU WIJAYA

Oleh
Fany Chusnia - 100211404897


Putu Wijaya memang sudah tidak diragukan lagi kiprahnya di dunia teater Indonesia. Banyak karya-karya hebat yang lahir dari kreatifitas dan kekritisannya tentang sebuah peristiwa. Banyak pula pementasan-pementasan drama yang lahir dari naskah drama yang ditulisnya. Salah satu naskah drama yang menarik perhatian adalah naskah drama yang berjudul “Operasi”. Naskah ini menarik bukan karena jumlah halamannya yang sedikit, tetapi isi cerita dari drama ini yang menggilitik untuk dikaji lebih dalam. “Operasi” menceritakan tentang seorang pasien yang tidak puas dengan wajahnya. Dia meminta agar dokter merubah wajahnya agar terlihat komersil. Namun anehnya, pasien itu meminta agar wajahnya dibuat lebih jelek. Dokter tersebut jelas menolaknya karena bertentangan dengan kode etik seorang dokter. Akhirnya dokter menyarankan kepada pasien itu untuk merusak sendiri wajahnya, baru kembali lagi ke dokter tersebut.

Saat membaca “Operasi” ini, yang pertama kali terlintas di benak adalah tentang ketidakpuasaan akan diri sendiri. Ini jelas terlihat pada dialog-dialog awal antara pasien dan dokter.
DOKTER      :  Ya, ya! Tapi coba ceritakan apa keluhan anda sebenarnya?
PASIEN         : O, begini dokter, Muka saya ini terlalu umum dokter! Sama sekali tidak ada ciri yang khas dan istimewa. Coba amati muka saya… muka saya ini sama saja dengan berjuta-juta orang Indonesia lainnya. Mata saya tidak sipit seperti orang Jepang juga tidak lebar seperti orang Bule. Hidung saya ini dok, tidak mancung juga tidak dapat dikatakan pesek. Ah, kalau nama saya ini saya ganti yang aksi misalnay (menyebut satu atau dua nama) juga tidak membuat saya berbeda dokter. Itulah yang membuat saya merasa hambar dan seperti berjalan di jalan datar yang panjang dan membosankan. Pantas saja kalau saya melamar jadi bintang film,tidak ada yang mau menerima.
DOKTER      : O, jadi anda mau jadi bintang film?
PASIEN        : Begitulah!

Dialog ini memang menggambarkan sifat manusia yang sebenarnya, tidak pernah puas. Semua manusia tidak akan merasa puas jika belum mencapai hal yang diinginkannya. Terkadang malah jika sudah tercapai, manusia masih ingin mencapai hal yang lebih lagi. Ini menandakan manusia memang tak pernah puas dengan apa yang sudah Tuhan berikan. Salah satunya anggota tubuh. Terlebih lagi di era modern yang serba canggih ini, manusia seolah berlomba-lomba ingin menjadi sempurna dan berbeda. Putu Wijaya jelas mengangkat fenomena ini ke dalam naskah dramanya “Operasi”. Sesuai dengan judulnya, operasi plastiklah yang menjadi jalan di era modern ini untuk merubah bentuk fisik kita. Tujuan merubah tampilan fisik tentunya beragam, ada yang ingin disayang suami, ada yang ingin disayang pacar, agar tidak minder sampai ingin menjadi artis. Terdengar aneh, tapi sangat nyata. Banyak orang-orang melakukan operasi plastik untuk menjadi artis. Fenomena oplas alias operasi plastik ini tidak hanya marak di luar negeri, tetapi juga di Indonesia juga banyak yang melakukannya.
DOKTER           : Jadi anda datang kemari mau dioperasi supaya bisa diterima jadi bintang film?
PASIEN           :  (mengangguk)
DOKTER         : Itu mudah, sebentar.
PASIEN           : E…kenapa anda memandang seperti itu. Ada yang salah pada diri saya?
DOKTER        :  (tersenyum) jangan khawatir itu salah satu cara saya untuk mencari rumus dan kunci pada wajah anda. Sehingga nantinya saya mudah untuk melakukan operasi
PASIEN           : Oh.
DOKTER         : Ya. Saya sudah menemukannya. Anda mau dibuat cantik seperti siapa?

            Motif kesempurnaan memang menjadi hal yang biasa dituntut saat hendak melakukan operasi plastik. Tetapi tak jarang pula, orang ingin melakukan operasi plastik agar terlihat berbeda atau unik. Putu Wijaya mengangkat fenomena ini pula dalam naskahnya. Bukan kesempurnaan, tetapi kekhasan. Ini terlihat saat pasien dalam naskah drama ini meminta untuk merubah wajahnya menjadi buruk yang jelas-jelas menurut kita sedikit kurang logis.
DOKTER        : Tentu saja saya bingung sebab selama ini belum ada yasng datang kemari yang minta supaya mukanya dirusak. Rata-rata
mereka minta supaya dibuat ganteng atau cantik. Lihat saja surat-surat pujian dan piagam penghargaan itu, atau lihat foto-
foto itu, itu adalah hasil kerja saya dan rata-rata mereka puas.
PASIEN          : Tapi apa susahnya merusak? Merusak itu lebih mudah daripada membuat ganteng atau cantik!
DOKTER         : Saya tahu,tapi…
PASIEN           : Tapi apa dokter?
DOKTER        :  Saya tidak bisa menjamin nanti setelah operasi dan wajah anda rusak, anda bisa komersil!
PASIEN           : Dokter tidak usah ragu-ragu, saya yakin, nanti kalau rusak pasti komersil!


Putu Wijaya tidak semata-mata menciptakan tokoh yang benar-benar fiktif. Karakter seperti ini memang ada di kehidupan saat ini. Jika dinalar, semua orang pasti berlomba-lomba menjadi cantik dan tampan, tetapi tidak ada yang ingin menjadi khas atau berbeda. Menjadi khas atau berbeda inilah yang akhirnya menjadi pilihan bagi sebagian orang agar mereka bisa dikenal. Di luar negeri misalnya, banyak artis yang berkali-kali melakukan operasi plastik agar terlihat berbeda dari yang lain. Namun tak jarang hasil yang didapat tidak memuaskan, bukannya menjadi unik tetapi menjadi aneh. Contohnya penyanyi Michael Jackson yang merubah warna kulitnya dari hitam menjadi putih, dia juga merubah bentuk hidung dan bentuk wajahnya. Agaknya kebalikan logika dari manusia ini yang ingin diangkat oleh Putu Wijaya. Karakter pasien seolah-olah digambarkan mempunyai logika yang terbalik dari manusia pada umumnya.
Sebuah karya sastra memang hanya fiktif belaka. Namun terkadang, karakter yang ada pada drama memang ada di kehidupan nyata. Karena memang jelas ada hubungan antara kenyataan dengan lahirnya karya sastra. Karya sastra lahir dari dinamika kehidupan yang nyata dan ada, kemudian seorang pengarang memasukkan unsur kreatif ke dalamnya. Dunia nyatapun bisa diubah dengan karya sastra. Ini terbukti pada apa yang ada di benak kita. Misalnya kita terbiasa dengan kesempurnaan fisik itu adalah fisik yang cantik dan tampan yang sesuai dengan cerita-cerita dongeng yang pernah dibaca. Sehingga hasilnya benar-benar bisa merubah logika dan cara pikir kita definisi tersebut. Memang banyak yang tidak menyadari, tetapi ini cukup berpengaruh. Fungsi manusia sebagai penikmat sastra dan pelaku dunia nyata tak lebih sebagai pembeda, mana yang logis dan mana yang ilusi.



No comments:

Post a Comment