Translate

Wednesday, May 15, 2013

ESAI KRITIK DRAMA Miftakhul Jannah

MISTERI DALAM “BLOKENG”
Sebuah Penampilan Drama Adaptasi
dari sebuah cerpen “Blokeng” Karya Ahmad Tohari
Oleh: Miftakhul Jannah
100211406110
Cerita dalam drama ini merupakan hasil adaptasi dari sebuah cerpen karya Ahmad Tohari. Cerita dimulai dari gosip yang ada di kampung Blingsatan mengenai kehamilan Blokeng. Blokeng adalah sampah pasar yang ternyata juga mempunyai kondisi secara biologis sempurna seperti selayaknya wanita pada umumnya. Akan tetapi, kehamilan Blokeng menimbulkan berbagai kecurigaan dan tuduhan di kampung Blingsatan itu. Masyarakat saling menuduh siapa lelaki di kampung Blingsatan yang telah menghamili Blokeng.

Suatu hari, Sutik, seorang hansip di kampung tersebut bertanya kepada Blokeng mengenai ayah dari si jabang bayi yang ada di rahimnya. Namun Blokeng tidak mau menjawabnya meskipun sudah dipaksa. Bahkan juga diancam akan dilaporkan ke polisi pun Boleng tetap membungkam. Semakin hari perut Blokeng semakin membuncit. Dan semakin hari suasana di kampung Blingsatan semakin memanas. Belakangan diketahui kabar bahwa ayah dari bayi Blokeng adalah laki-laki yang mempunyai sandal jepit. Secara spontan semua penduduk membuang sandal jepitnya untuk menghindari tuduhan. Lalu Blokeng mengatakan bahwa ayah dari bayinya adalah seorang yang membawa senter. Alhasil, semua penduduk menghilangkan senternya untuk menghindari tuduhan.
9 bulan telah berlalu, akhirnya Blokeng melahirkan anaknya tanpa bantuan siapapun. Mendengar bahwa Blokeng telah melahirkan, maka lurah Hadining mengajak semua warganya ke rumah Blokeng. Lurah Hadining menginginkan agar warganya menjadi saksi bahwa untuk menghapus semua fitnah dan desas-desus yang ada di kampungnya, maka lurah Hadining mengumumkan dan memutuskan untuk mengangkat Blokeng dan anaknya. Setelah itu, secara spontan Blokeng membuka peci yang dikenakan pak lurah sambil berkata bahwa ayah dari bayinya mempunyai kepala tidak botak. Sehingga semua warga laki-laki di kampung tersebut membotakkan kepalanya untuk menghindari tuduhan. Cerita pun selesai dengan ending yang terbuka karena kita belum tahu siapa sebenarnya ayah dari bayi Blokeng tersebut.
1.   Setting
Setting memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Adapun setting suasana yang terdapat dalam naskah ini adalah mengambarkan suasana yang penuh kecurigaan di kampung Belingsatan karena kehamilan Blokeng yang misterius, tidak jelas siapa bapak dari bayi yang ada di rahimnya.
2.   Tokoh dan Perwatakan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
Adapun tokoh yang ada dalam naskah drama ini adalah sebagai berikut.
a)   Blokeng yang diperankan oleh Dian mempunyai perwatakan yang sedikit misterius dan nampaknya sedikit mempunyai gangguan secara mental tetapi normal secara biologis. Hal ini ditunjukkan bahwa Blokeng tidak mau menjawab siapa ayah bayi yang dikandungnya, ia tidak paham apa itu polisi tetapi ia bisa hamil selayaknya perempuan pada umumnya.
b)  Sutik yang diperankan oleh Erza, yakni seorang hansip yang suka menggosip sambil ronda.
c)   Joko (suami Marmi) yang diperankan oleh Fikri, yakni seorang yang pekerjaannya suka mabuk-mabukan dan mancing di sungai tidak jelas.
d)  Marmi (isteri Joko) yang diperankan oleh Vita, yakni seorang pembantu di rumah lurah Hadining yang suka menggosip.
e)   Gono (suami Iyem) yang diperankan oleh Fami, yakni seorang yang pekerjaannya hanya sabung ayam dan merasa congkak dengan gelarnya bahwa ia adalah rajanya sabung ayam.
f)   Iyem (isteri Gono) yang diperankan oleh Januari, yakni seorang pembantu yang bekerja di rumah lurah Hadining. Selain itu, ia merupakan seorang tukang cuci baju. Ia mempunyai sifat yang cerewet.
g)   Kirman (ayah Gina) yang diperankan oleh Nuril, yakni seorang duda yang mempunyai anak perempuan satu dan ia bekerja sebagai penjual di pasar.
h)  Gina (anak Kirman) yang diperankan oleh Yuni, yakni anak gadis yang bekerja di rumah lurah Hadining. Ia adalah seorang gadis yang judes, hal ini dibuktikan ketika ia digoda oleh Sutik di warung mbak Menuk, spontan dia tidak menggubrisnya.
i)    Lurah Hadining yang diperankan oleh Deki, yakni sosok lurah yang cukup bijaksana karena ia bisa menyelesaikan masalah Blokeng, bisa menghapus bisik-bisik yang ada di kampungnya dengan mengangkat Blokeng beserta anaknya.
j)    Bu Lurah Hadining yang diperankan oleh Elmi, yakni sosok Bu lurah yang bijaksana pula karena ia dengan ikhlas bersedia mengangkat Blokeng dan anaknya.
k)  Lasmi yang diperankan oleh Heni, yakni seorang nenek yang bekerja di rumah pak lurah. Nenek ini mempunyai cucu yang masih perjaka yaitu Suroso.
l)    Suroso yang diperankan oleh Wima, yakni seorang perjaka muda yang kerjanya hanya mengurusi sapi-sapinya.
m) Menuk yang diperankan oleh Riska, yakni seorang penjual warung di pasar. Ia mempunyai sifat yang ramah dan mudah gugup. Terbukti dari caranya ketika melayani pembeli dengan wajah yang ramah dan ia sangat gugup ketika mengetahui Blokeng telah melahirkan.
3.   Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:159).
       Alur dalam drama ini terbagi menjadi 3 babak. Pertama lampu disorotkan ke rumah pak lurah. Di sana menggambarkan kegupuhan yang dialami bu lurah karena hendak mengadakan acara di balai desa. Selain itu para pembantu-pembantunya sibuk asik membicarakan kehamilan Blokeng. Kedua, lampu disorotkan ke warung Menuk. Di warung ini, semua bapak-bapak kampung membicarakan seputar kehamilan Blokeng yang tidak jelas siapa bapaknya. Dan ketiga, lampu disorotkan ke tempat sampah yang merupakan rumah Blokeng. Di tempat ini warga beserta pak lurah dan bu lurah membantu membersihkan rumah Blokeng. Kemudian lurah Hadining meminta kesaksian warga bahwa ia akan mengangkat Blokeng dan anaknya untuk menghilangkan semua desas desus yang ada.
4.   Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya (Siswanto, 2008:161). Adapun temanya adalah “Ketidakjujuran Menimbulkan Sebuah Misteri yang Sulit dipecahkan”.
5.   Amanat
Amanat adalah nilai-nilai dari karya sastra yang dapat diambil sebagai pelajaran, sehingga di kemudian hari tidak terulang kembali. Adapun amanat yang disampaikan melalui drama ini adalah sebagai berikut.
·     Jangan suka membicarakan aib orang lain.
·     Jangan suka hidup dengan saling menuduhkan sesuatu yang belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
·     Jadilah seorang pemimpin yang bijaksana dalam menyikapai semua permasalahan yang ada.
·     Sikapilah semua permasalahan yang ada dengan hati yang dingin.
Naskah drama adaptasi dari sebuah cerpen “Blokeng” karya Ahmad Tohari ini merupakan naskah drama yang dipentaskan dengan genre surealis. Surealis adalah aliran dalam seni yang berupa alam bawah sadar manusia atau non rasional. Hal ini sesuai dengan pengertiannya dalam KKBI, yaitu  aliran dalam seni sastra yg mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas atau kenyataan).
Naskah drama ini pernah dipentaskan oleh kelompok teater dari Universitas Negeri Malang, yaitu Teater Pelangi dalam pentas produksinya yang ke-17 pada 29 Pebruari 2012 dan 1 Maret 2012. Kelompok teater tersebut berhasil membius penonton untuk larut dalam ceritanya. Hal ini terbukti dari antusiasme penonton yang memenuhi Sasana Budaya UM berjumlah 270 penonton. Mereka bukan hanya dari Universitas Negeri Malang tetapi juga dari anak-anak SMA di Malang dan beberapa komunitas teater di luar UM yang ada di Malang.
Ciri khas karya-karya besar Ahmad Tohari selalu mengangkat budaya lokal dalam masyarakatnya. Misalnya saja sebuah novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang kemudian difilmkan dalam layar lebar. Film ini juga cukup membius masyarakat pecinta sastra maupun tidak, untuk turut menyaksikannya. Tak ubahnya dengan naskah drama “Blokeng” yang merupakan sebuah adaptasi cerpen, ketika naskah ini dipentaskan banyak penikmat sastra yang mengapresiasi positif. Hal ini menunjukkan bahwa Ahmad Tohari memanglah seorang sastrawan yang cukup piawai dalam merangkai kata menjadi suatu rangkaian cerita yang menarik untuk dibaca dan juga untuk dipentaskan. Akan tetapi, menurut Ahmad Tohari bahwa karya yang dipentaskan lebih memiliki ruh daripada karya yang difilmkan. Pementasan drama/teater lebih memiliki makna daripada film-film (sinetron) yang lebih sering dikonsumsi masyarakat. Melalui karya-karyanya, Ahmad Tohari bermaksud untuk mengajak pembaca untuk melihat dan merenungi suatu peristiwa dalam cerita yang diambil dari suatu peristiwa yang nyata.
Demikian pula dengan cerita dalam “Blokeng”. Bisa jadi cerita tersebut diambil dari pengalaman atau pengamatan Ahmad Tohari terhadap lingkungan sekelilingnya. Akan tetapi, cerita tersebut memang sengaja tidak diselesaikan alias menggantung sehingga pembaca bebas mengakhirinya seperti yang mereka pikirkan. Pada suatu acara ngopi siang, di sebuah Universitas Negeri, ada aseorang peserta yang bertanya bahwa siapa sebenarnya ayah dari bayi yang dikandung Blokeng. Akan tetapi, Ahmad Tohari tetap merahasiakannya dan berkata kita tidak perlu tahu siapa ayah dari bayi Blokeng. Dan pertanyaan itu pasti akan selalu melintasi benak pembaca ketika pembaca tersebut membaca naskah adaptasi dari “Blokeng”. Itulah misteri dalam “Blokeng” yang masih menjadi teka-teki dan tanda tanya dibenak pembaca/penonton (penikmat sastra).
Sumber

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

No comments:

Post a Comment