MISTERI
DALAM “BLOKENG”
Sebuah Penampilan Drama
Adaptasi
dari
sebuah cerpen “Blokeng” Karya Ahmad Tohari
Oleh: Miftakhul Jannah
100211406110
Cerita
dalam drama ini merupakan hasil adaptasi dari sebuah cerpen karya Ahmad Tohari.
Cerita dimulai dari gosip yang ada di kampung Blingsatan mengenai kehamilan
Blokeng. Blokeng adalah sampah pasar yang ternyata juga mempunyai kondisi
secara biologis sempurna seperti selayaknya wanita pada umumnya. Akan tetapi,
kehamilan Blokeng menimbulkan berbagai kecurigaan dan tuduhan di kampung
Blingsatan itu. Masyarakat saling menuduh siapa lelaki di kampung Blingsatan
yang telah menghamili Blokeng.
Suatu
hari, Sutik, seorang hansip di kampung tersebut bertanya kepada Blokeng
mengenai ayah dari si jabang bayi yang ada di rahimnya. Namun Blokeng tidak mau
menjawabnya meskipun sudah dipaksa. Bahkan juga diancam akan dilaporkan ke
polisi pun Boleng tetap membungkam. Semakin hari perut Blokeng semakin
membuncit. Dan semakin hari suasana di kampung Blingsatan semakin memanas.
Belakangan diketahui kabar bahwa ayah dari bayi Blokeng adalah laki-laki yang
mempunyai sandal jepit. Secara spontan semua penduduk membuang sandal jepitnya
untuk menghindari tuduhan. Lalu Blokeng mengatakan bahwa ayah dari bayinya
adalah seorang yang membawa senter. Alhasil, semua penduduk menghilangkan senternya
untuk menghindari tuduhan.
9
bulan telah berlalu, akhirnya Blokeng melahirkan anaknya tanpa bantuan
siapapun. Mendengar bahwa Blokeng telah melahirkan, maka lurah Hadining mengajak
semua warganya ke rumah Blokeng. Lurah Hadining menginginkan agar warganya
menjadi saksi bahwa untuk menghapus semua fitnah dan desas-desus yang ada di
kampungnya, maka lurah Hadining mengumumkan dan memutuskan untuk mengangkat
Blokeng dan anaknya. Setelah itu, secara spontan Blokeng membuka peci yang
dikenakan pak lurah sambil berkata bahwa ayah dari bayinya mempunyai kepala
tidak botak. Sehingga semua warga laki-laki di kampung tersebut membotakkan
kepalanya untuk menghindari tuduhan. Cerita pun selesai dengan ending yang terbuka
karena kita belum tahu siapa sebenarnya ayah dari bayi Blokeng tersebut.
1.
Setting
Setting
memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Setting disebut juga
sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Adapun setting suasana yang terdapat dalam naskah ini adalah mengambarkan
suasana yang penuh kecurigaan di kampung Belingsatan karena kehamilan Blokeng
yang misterius, tidak jelas siapa bapak dari bayi yang ada di rahimnya.
2.
Tokoh
dan Perwatakan
Tokoh
adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa
itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut
penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku
atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh
sastrawan disebut perwatakan.
Adapun
tokoh yang ada dalam naskah drama ini adalah sebagai berikut.
a) Blokeng
yang diperankan oleh Dian mempunyai perwatakan yang sedikit misterius dan
nampaknya sedikit mempunyai gangguan secara mental tetapi normal secara
biologis. Hal ini ditunjukkan bahwa Blokeng tidak mau menjawab siapa ayah bayi
yang dikandungnya, ia tidak paham apa itu polisi tetapi ia bisa hamil selayaknya
perempuan pada umumnya.
b) Sutik
yang diperankan oleh Erza, yakni seorang hansip yang suka menggosip sambil
ronda.
c) Joko
(suami Marmi) yang diperankan oleh Fikri, yakni seorang yang pekerjaannya suka
mabuk-mabukan dan mancing di sungai tidak jelas.
d) Marmi
(isteri Joko) yang diperankan oleh Vita, yakni seorang pembantu di rumah lurah
Hadining yang suka menggosip.
e) Gono
(suami Iyem) yang diperankan oleh Fami, yakni seorang yang pekerjaannya hanya
sabung ayam dan merasa congkak dengan gelarnya bahwa ia adalah rajanya sabung
ayam.
f) Iyem
(isteri Gono) yang diperankan oleh Januari, yakni seorang pembantu yang bekerja
di rumah lurah Hadining. Selain itu, ia merupakan seorang tukang cuci baju. Ia
mempunyai sifat yang cerewet.
g) Kirman
(ayah Gina) yang diperankan oleh Nuril, yakni seorang duda yang mempunyai anak
perempuan satu dan ia bekerja sebagai penjual di pasar.
h) Gina
(anak Kirman) yang diperankan oleh Yuni, yakni anak gadis yang bekerja di rumah
lurah Hadining. Ia adalah seorang gadis yang judes, hal ini dibuktikan ketika
ia digoda oleh Sutik di warung mbak Menuk, spontan dia tidak menggubrisnya.
i) Lurah
Hadining yang diperankan oleh Deki, yakni sosok lurah yang cukup bijaksana
karena ia bisa menyelesaikan masalah Blokeng, bisa menghapus bisik-bisik yang
ada di kampungnya dengan mengangkat Blokeng beserta anaknya.
j) Bu
Lurah Hadining yang diperankan oleh Elmi, yakni sosok Bu lurah yang bijaksana
pula karena ia dengan ikhlas bersedia mengangkat Blokeng dan anaknya.
k) Lasmi
yang diperankan oleh Heni, yakni seorang nenek yang bekerja di rumah pak lurah.
Nenek ini mempunyai cucu yang masih perjaka yaitu Suroso.
l) Suroso
yang diperankan oleh Wima, yakni seorang perjaka muda yang kerjanya hanya
mengurusi sapi-sapinya.
m) Menuk
yang diperankan oleh Riska, yakni seorang penjual warung di pasar. Ia mempunyai
sifat yang ramah dan mudah gugup. Terbukti dari caranya ketika melayani pembeli
dengan wajah yang ramah dan ia sangat gugup ketika mengetahui Blokeng telah
melahirkan.
3.
Alur
Alur
adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga
menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita
(Aminuddin dalam Siswanto,
2008:159).
Alur dalam drama ini terbagi menjadi 3 babak. Pertama lampu
disorotkan ke rumah pak lurah. Di sana menggambarkan kegupuhan yang dialami bu
lurah karena hendak mengadakan acara di balai desa. Selain itu para
pembantu-pembantunya sibuk asik membicarakan kehamilan Blokeng. Kedua, lampu
disorotkan ke warung Menuk. Di warung ini, semua bapak-bapak kampung
membicarakan seputar kehamilan Blokeng yang tidak jelas siapa bapaknya. Dan
ketiga, lampu disorotkan ke tempat sampah yang merupakan rumah Blokeng. Di
tempat ini warga beserta pak lurah dan bu lurah membantu membersihkan rumah
Blokeng. Kemudian lurah Hadining meminta kesaksian warga bahwa ia akan
mengangkat Blokeng dan anaknya untuk menghilangkan semua desas desus yang ada.
4.
Tema
Tema
adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang
diciptakannya (Siswanto, 2008:161). Adapun temanya adalah “Ketidakjujuran
Menimbulkan Sebuah Misteri yang Sulit dipecahkan”.
5.
Amanat
Amanat
adalah nilai-nilai dari karya sastra yang dapat diambil sebagai pelajaran,
sehingga di kemudian hari
tidak terulang kembali. Adapun amanat yang disampaikan melalui
drama ini adalah sebagai berikut.
· Jangan
suka membicarakan aib orang lain.
· Jangan
suka hidup dengan saling menuduhkan sesuatu yang belum bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
· Jadilah
seorang pemimpin yang bijaksana dalam menyikapai semua permasalahan yang ada.
· Sikapilah
semua permasalahan yang ada dengan hati yang dingin.
Naskah drama adaptasi dari sebuah cerpen
“Blokeng” karya Ahmad Tohari ini merupakan naskah drama yang dipentaskan dengan
genre surealis. Surealis adalah aliran dalam seni yang berupa alam bawah sadar
manusia atau non rasional. Hal ini sesuai dengan pengertiannya dalam KKBI,
yaitu aliran dalam seni sastra yg
mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas
atau di luar realitas atau kenyataan).
Naskah drama ini pernah dipentaskan oleh
kelompok teater dari Universitas Negeri Malang, yaitu Teater Pelangi dalam
pentas produksinya yang ke-17 pada 29 Pebruari 2012 dan 1 Maret 2012. Kelompok
teater tersebut berhasil membius penonton untuk larut dalam ceritanya. Hal ini
terbukti dari antusiasme penonton yang memenuhi Sasana Budaya UM berjumlah 270
penonton. Mereka bukan hanya dari Universitas Negeri Malang tetapi juga dari
anak-anak SMA di Malang dan beberapa komunitas teater di luar UM yang ada di
Malang.
Ciri khas karya-karya besar Ahmad Tohari selalu
mengangkat budaya lokal dalam masyarakatnya. Misalnya saja sebuah novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” yang kemudian difilmkan dalam layar lebar. Film ini juga
cukup membius masyarakat pecinta sastra maupun tidak, untuk turut
menyaksikannya. Tak ubahnya dengan naskah drama “Blokeng” yang merupakan sebuah
adaptasi cerpen, ketika naskah ini dipentaskan banyak penikmat sastra yang
mengapresiasi positif. Hal ini menunjukkan bahwa Ahmad Tohari memanglah seorang
sastrawan yang cukup piawai dalam merangkai kata menjadi suatu rangkaian cerita
yang menarik untuk dibaca dan juga untuk dipentaskan. Akan tetapi, menurut
Ahmad Tohari bahwa karya yang dipentaskan lebih memiliki ruh daripada karya
yang difilmkan. Pementasan drama/teater lebih memiliki makna daripada film-film
(sinetron) yang lebih sering dikonsumsi masyarakat. Melalui karya-karyanya,
Ahmad Tohari bermaksud untuk mengajak pembaca untuk melihat dan merenungi suatu
peristiwa dalam cerita yang diambil dari suatu peristiwa yang nyata.
Demikian
pula dengan cerita dalam “Blokeng”. Bisa jadi cerita tersebut diambil dari
pengalaman atau pengamatan Ahmad Tohari terhadap lingkungan sekelilingnya. Akan
tetapi, cerita tersebut memang sengaja tidak diselesaikan alias menggantung
sehingga pembaca bebas mengakhirinya seperti yang mereka pikirkan. Pada suatu
acara ngopi siang, di sebuah Universitas Negeri, ada aseorang peserta yang
bertanya bahwa siapa sebenarnya ayah dari bayi yang dikandung Blokeng. Akan
tetapi, Ahmad Tohari tetap merahasiakannya dan berkata kita tidak perlu tahu
siapa ayah dari bayi Blokeng. Dan pertanyaan itu pasti akan selalu melintasi
benak pembaca ketika pembaca tersebut membaca naskah adaptasi dari “Blokeng”.
Itulah misteri dalam “Blokeng” yang masih menjadi teka-teki dan tanda tanya
dibenak pembaca/penonton (penikmat sastra).
Sumber
No comments:
Post a Comment