Analisis Nilai Moral Individu Dalam Cerpen Blokeng
Karya Ahmad Tohari
Oleh
Evi Dana Setia Ningrum - 100211404899
Nilai-nilai karya sastra adalah
suatu nilai atau pesan atau aspek yang disisipkan oleh pengarang di dalam karya
sastra. Pesan ini adalah pesan tersirat dalam cerita yang sengaja penulis
sampaikan pada pembaca dengan cara membaca dan memahami isi cerita tersebut. Nilai yang
terkandung dalam sebuah cerita selalu memiliki maksud dan amanat yang ingin
penulis sampaikan kepada pembaca yang dikemas dengan menampilkan tokoh dan
karakter serta alur yang menjadikan jalan cerita tersebut memiliki arah yang
jelas.
Pertunjukkan drama dari Teater Pelangi dengan
judul Blokeng karya Ahmad Tohari ini
berangkat dari sebuah cerpen berjudul Blokeng.
Cerpen karya Ahmad Tohari ini memberikan gambaran tentang mulai pudar atau
rusaknya moral individu yang tertangkap oleh kacamata seorang Ahmad Tohari.
Beliau memberikan implementasi tentang apa yang terjadi pada bangsa kita saat
ini melalui karyanya, walaupun cerpen ini ditulis pada tahun 1989.
Dalam laporan hasil analisis tentang
pertunjukkan drama berjudul Blokeng
ini akan membahas lebih lanjut menganai nilai ekstrinsiknya, yaitu mengenai
nilai moral individu yang tercermin dari tokoh dan karakternya. Seperti tampak
pada kutipan cerpen berikut ini, “Tetapi tentang si Blokeng memang tak ada
duanya. Kecuali dia adalah perempuan yang secara biologis sempurna seperti baru
saja terbukti, sama halnya dengan perempuan-perempuan lain. Selebihnya, siapa
pun tak sudi diperbandingkan apalagi dimiripkan dengan Blokeng. Ini kepongahan
kampungku yang dengan gemilang telah berhasil memelihara rasa congkak dengan
cara memanipulasi nilai martabat kemanusiaan.”
Tampak sekali bahwa dalam cerita Blokeng ini
mengangkat suatu keadaan dimana rasa saling menghormati dan rasa saling
menyayangi sesama manusia tidak lagi diperhatikan. Bahkan secara
terang-terangan mengintimidasi seseorang tanpa memperhatikan martabat
kemanusiaan. Seperti tampak pada kutipan cerpen berikut, “Tuduhan membuntingi
Blokeng, di luar segala urusan hukum atau norma lainnya, dianggap sebagai
perilaku primitif yang paling tidak bermartabat. Sebab Blokeng memang tak ada
duanya dan setiap perempuan akan merasa demikian malu bila diperbandingkan
dengan dia.” Blokeng dianggap sebagai seorang yang tidak memiliki matabat hanya
karena dia tinggal di onggokan sampah pasar. Hal semacam ini yang seharusnya
tidak terjadi dalam masyarakat kita manum pada kenyataannya sering kita jumpai
seorang memandang rendah orang lain hanya karena derajat atau status sosialnya
dalam masyarakat.
Dalam pertunjukkan drama Blokeng ini menampilakan tokoh dengan karakter yang menggambarkan
tentang pudarnya rasa saling percaya terhadap sesama. Ketika seorang dihadapkan
pada sebuah persoalan, bukan diskusi guna menemukan penyelesaian masalah yang dilakukan,
akan tetapi timbul kecurigaan dan saling tuduh antar sesama. Seperti tampak
pada kutipan cerpen berikut,
“Aku
tak boleh berkata apa-apa. Kalau mulutku bocor dia akan memukulku dengan ini,”
kata Blokeng sambil menggamit lampu senter pak hansip.
“Jadi
ayah bayimu datang ke sarang ini membawa senter? Dia lelaki yang mempunyai
senter?”
“Mbuh.”
Maka
keesokan hari tersiar berita: ayah bayi Blokeng adalah seorang lelaki yang
memiliki lampu senter. Kampungku yang pongah kemudian memperlihatkan gejala aneh.
Lampu-lampu senter lenyap. Yang berjalan malam hari lebih suka memilih suluh
untuk penerangan. Ronda malam dan hansip kena marah karena mereka menjaga
kampung hanya menggunakan korek api, bukan lampu baterai. Tetapi lampu senter
terus menghilang dari kampungku yang pongah.”
Hal semacam ini juga terjadi lagi
ketika Blokeng menyebutkan bahwa laki-laki yang menghamilinya adalah seorang
yang memakai sandal jepit, seketika itu juga sandal jepit tiak lagi ada di
kampung tersebut, seperti tampak pada kutipan cerpen berikut, “Sekali
waktu ada sas-sus baru. Katanya, Blokeng memberikan keterangan lain tentang
laki-laki yang membuntinginya. Dia adalah seorang laki-laki yang malam-malam
merangkak ke dalam sarangnya dan memakai sandal jepit. Blokeng tidak tahu
persis siapa dia karena sarang Blokeng yang terletak di atas tanah becek tak
pernah berlampu. Tidak pernah. Dunia Blokeng adalah dunia sampah pasar, dunia
tanah lembab, dan dunia yang tak mengenal lampu. Kampungku yang pongah berkelit
dengan jurus yang lain lagi. Kini
orang mencari bakiak dan bandol sebagai alas kaki. Sementara itu sandal jepit
lenyap dengan serta-merta.” Hal ini menggambarkan
tidak adanya lagi rasa percaya terhadap diri sendiri dan terhadap sesama
manusia. Dengan bersikap seolah-oleh tidak tahu apa-apa atau menyembunyikan
sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah yang dihadapi dianggap sebagai suatu
penyelesaian masalah.
Keadaan sosial masyarakat yang
pongah dan sombong yang memandang martabat manusia secara semena-mena menjadi
karakter dominan dalam pertunjukkan drama ini. Setiap tokoh memiliki karakter
yang mencerminkan keadaan dimana tidak ada lagi rasa saling memiliki antar
sesama. Blokeng meskipun dengan keadaannya yang memprihatinkan pada dasarnya
dia juga memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyakat, dia juga mempunyai
hak untuk dihormati sebagai anggota masyarakat.
No comments:
Post a Comment