Translate

Saturday, May 4, 2013

ESAI KRITIK PROSA Retno Galuh Diyanti

KEHIDUPAN SOSIAL PADA CERPEN “ DAUN-DAUN WARU DI SAMIRONO”

NH. DINI
OLEH
Retno Galuh Diyanti - 100211404905

Analisis Ekspresif Cerpen “Daun-daun Waru di Samirono”
2.1 Apresiasi
      2.1.1 Biografi
            Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir di SemarangJawa Tengah29 Februari 1936 (umur 74 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Nh. Dini  adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.

NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul".
NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, diantaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.
Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.
Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di KobeJepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom PenhKamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di ManilaFilipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.
Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.
Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di SlemanYogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.
Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.
Ia juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.
Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya. Nh. Dini sekarang tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran.

2.1.2 Analisis
            Dalam karyanya, Nh. Dini menciptakan tokoh Mbah Jum, seorang wanita tua pencari daun waru. Dalam menceritakan tokoh Mbah Jum, pengarang tidak lupa menyisipkan nilai sosial, yakni karakter individual tokoh dan hubungannya diantara karakter-karakter yang diciptakan pengarang. Pemahaman suatu karakter sendiri tidak semata-mata paham saja namun dapat mempelajari hubungan tokoh dengan lingkungannya, interaksi tokoh  dan prinsip tingkah laku manusia (tokoh) secara umum. Dengan demikian, analisis dalam cerpen ”Daun-daun Waru di Samirono” dapat diuraikan sebagai berikut:

Ø  Karakter tokoh
Pengarang menciptakan tokoh Mbah Jum dengan semua karakter yang melekat pada tokoh itu. Dalam ceritanya, Mbah Jum adalah wanita dengan semangat hidup tinggi dan tidak mau menyusahkan orang lain, mungkin Nh. Dini mengibaratkan sikap seorang Mbah Jum sebagai cerminan dirinya.
            ….
Semua orang mengenal dia. Hanya pendatang baru, misalnya anak-anak yang mondok di kos-kosan, pengontrak rumah pengganti penghuni lama yang akan bertanya: Siapa mak atau mbah Jum itu?
            ….

Dari cuplikan di atas, pengarang menciptakan karakter tokoh Mbah Jum sebagai orang yang dikenal semua orang di kampungnya. Dengan melekatkan karakter yang demikian, tokoh Mbah Jum memiliki karakter yang baik sehingga dikenal oleh banyak orang, hal ini menjadi cerminan seorang Nh. Dini yang begitu terkenal karena karya-karya mutakhir yang diciptakannya. Selain itu, karakter tokoh juga dijelaskan pengarang seperti dalam cuplikan berikut ini:

….
Untuk mendapatkan uang paling sedikit Rp. 3000, timbunan ranting harus menggunung setinggi lututnya. Selembar daun dihargai tiga puluh rupiah. Meskipun di bawah lipatan pakaian di kardus dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu kondangan lalu, tetapi ia harus menambah lagi. Lebaran mendatang dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.
….

Dari cuplikan di atas, terbentuk karakter tokoh yang berkemauan keras sebagai makhluk individu. Sebagai seorang yang individu, tokoh Mbah Jum berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, walaupun di usia yang sudah renta. Hal tersebut mencerminkan pula sosok Nh. Dini yang bekerja keras walau diusianya yang sudah lanjut. Dari sini, pengarang berusaha mengajarkan kepada pembaca, bahwa sebagai makhluk individu manusia harus dapat berusaha sendiri untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya.

Ø  Hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya
Hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya terkait dengan interaksi tokoh dengan serangakaian unsur yang ada dalam lingkungan tempat tinggalnya. Dalam menciptakan tokoh Mbah Jum, pengarang juga melibatkan unsur ini. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan berikut:


Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambau yang diselipkan diantara dahan pohon waru.
“Daunya hari ini bersih-bersih, Mbah,”katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu.
“Nuwun, Masa, nuwun”, kata Mbah Jum sambil melepas selendang pengikat gendongan, lalu meletakannya di dalam tenggok di tanah.

Dari cuplikan di atas, terlihat adanya hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya. Dalam lingkungan, masyarakat adalah salah satu unsur yang ada di dalamnya. Sebagai seorang yang tua, tokoh Mbah Jum adalah orang yang berhubungan baik dengan lingkungannya. Memang dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan diterima lingkungannya dan dihormati orang lain jika orang itu  baik. Hal ini diciptakan pengarang pada tokoh Mbah Jum untuk meberitahukan, bahwa orang baik akan diterima dilingkungannya jika memiliki karakter yang baik. Hal tersebut persis dengan kehidupan bermasyarakat Nh. Dini, ia begitu dikenal masyarakat dan memiliki citra sebagai penulis yang hebat sampai-sampai penghargaan dari luar negeri pun diraihnya (peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand).
Selain berhubungan dengan masyarakat, pengarang menciptakan tokoh Mbah Jum yang memiliki keterikatan dengan alam. Hubungan itu dijekaskan pada cuplikan berikut:
 ....
Seingat Mbah Jum, para tetangganya sering menyebut September karena berarti sumbere kasep. Perempuan tua itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui hitungan cahaya malam di langit: Jumadil akhir, ruwah.....Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa sudah tampak di ambang waktu
...

Mbah Jum begitu akrab dengan alam, bahkan tanpa menggunakan kalender beliau mampu menghitung bulan hanya dengan melihat cahaya malam di langit. Betapa bersahabatnya tokoh Mbah Jum dengan langit. Hal tersebut sangat mencerminkan sikap seorang Nh. Dini yang mencintai lingkungan, terbukti selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Ø  Interaksi semua karakter
Dalam menciptakan tokoh utama dan beberapa tokoh sampingan, ada hubungan karakter antar tokoh dalam cerita. Penciptaan tokoh-tokoh ini menimbulkan interaksi, terutama dalam hubungannya sebagai makhluk sosial atau sebagai bagian dari masyarakat. Interaksi antar tokohnya dapat dilihat dari cuplikan berikut:
...
Sambil mengawasi dari jauh siapa yang berseru, otak erempuan itu sempat berfikir. Panggilan kepadanya dimulai dari Lek, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah dari waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan lebih-lebih warna rambutnya. Kali itu, sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang yang sudah cukup lama mengenal dia.
Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.
Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia seru menjawab.
 ....
Dari cuplikan di atas, pengarang menciptakan interaksi antar tokoh yakni tokoh Mbah Jum dengan seorang laki-laki. Dalam kehidupan bermasyarakat, memang harus terjadi interaksi antar sesama manusia. Dengan karakter Mbah Jum yang baik dan ramah, tentu juga berpengaruh  terhadap sikap terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Interaksi tokoh Mbah Jum dengan laki-laki itu, ditunjukkan dengan lambaian tangan yang menunjukkan bahwa itu sebuah interaksi. Meskipun tidak ada dialog, bahasa tubuh seoerti lambaian tangan itu, merupakan tanda adanya interaksi dan hubungan baik. Demikian sikap Nh. Dini yang begitu ramah terhadap lingkungan, ia mencintai alam, anak-anak, dan begitu pula sebaliknya, masyarakat terbukti peduli terhadapnya. Sebagai contoh, ketika Nh. Dini terjangkit hepatitis B, para siswa-siswi SD di lingkungannya menyumbangkan sedikit uang saku mereka untuk kesembuhan penulis novel Dua Dunia tersebut. Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto beserta Dewan Kesenian Jawa Tengah pun turut turun tangan membantu biaya pengobatan Nh. Dini. Dituangkan pula oleh Nh. Dini dalam cuplikan berikut.
....
Dia tidak tahu usiannya yang pasti. Pak Dukuh memberinya tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Waktu itu penduduk harus ditata karena negara sudah teratur dan merdeka, kata Pak Bayan.
....
Interaksi antar tokoh juga terlihat dari cuplikan di atas. Interaksi yang digambarkan melalui tokoh Pak Dukuh terhadap Mbah Jum, adalah hubungan seorang lurah atau kepala kawasan terhadap tokoh Mbah Jum, seorang wanita tua yang tidak tahu akan tanggal lahirnya. Dengan demikian, pengarang mengajarkan kepada pembaca bahwa seorang lurah harus memperhatikan warganya, sampai hal terkecil sekalipun. Terutama terhadap orang yang baik.

Ø  Prinsip tingkah laku manusia (tokoh) secara umum
Dalam menciptakan tokoh dan membangun cerita, pengarang mewujudkan prinsip tingkah laku manusia secara umum untuk menunjukkan kepada pembaca, bahwasanya orang yang baik akan mendapatkan kebaikan pula. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut:
....
Dia tetap menjadi bagian keluarga Bu Guru. Makanan tidak sulit, karena dimana-mana orang mengulurkan sepincuk nasi bersama lauk, segelas teh atau air. Sedangkan di dapur keluarga Bu Guru, dia mendapat sajian di atas papan rak nasi lengkap dengan masakan hari itu
....

Dari cuplikan di atas, digambarkan tokoh Mbah Jum adalah seorang yang tidak sulit untuk mendapatkan makan. Walaupun usianya sudah renta, dia tidak perlu sampai mengemis hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal ini karena karakter baik yang melekat dalam diri Mbah Jum, pastilah akan dibalas dengan kebaikan pula.
Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia mengangsu dari sumur di tengah kampung.
....

Cuplikan di atas juga merupakan sebuah gambaran bahwa seseorang yang bersikap baik kepada orang lain,  akan mendapat perlakuan yang sama pula. Karena pada dasarnya, manusia  harus menyadari bahwa dirinya diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Kebaikan pengarang yakni Nh. Dini pun telah mendapat seribu balasan. Mulai dari anak-anak sampai pemangku jabatan peduli akan keadaan yang menimpa pengarang besar tersebut.





SINOPSIS CERPEN:
Diceritakan, seorang wanita tua yang kira-kira berumur 78 tahun. Dia tidak tahu tanggal dan tahun kelahirannya, sehingga Pak Lurah pun mengira-ngira saja tahun kelahiran wanita tua itu. Semua orang biasa memanggilnya Mbah Jum. Panggilan kepadanya dimulai dari Lik, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah, dari waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan warna rambut.
Mbah Jum adalah seorang pencari daun waru untuk pembungkus tempe gembus. Dia merupakan satu-satunya pemasok daun waru untuk pembungkus tempe di daerahnya. Tidak ada orang yang tidak kenal dengan Mbah Jum. Dia menjadi nenek bagi seisi kampung. Setiap ada kondangan, tenaga Mbah Jum sangat berguna untuk mengupas, membersihkan dan mengiris sayur. Namun, pekerjaan tetapnya adalah sebagai pencari daun waru.
Mbah Jum tinggal seorang diri. Dia sudah tidak ingat dari mana dia berasal. Yang diingatnya adalah mengungsi, setelah bencana letusan gunung Merapi yang menyapu habis seluruh kampung dan isinya. Setelah itu, dia dibawa orang yang biasa dia sebut sebagai Bu Guru, ke kota Raja. Mulai saat itu Mbah Jum tinggal di belakang rumah Bu Guru. Bu Guru selalu menyuruh pembantunya untuk memanggil Mbah Jum, sekadar untuk makan di rumahnya.
Tenaga Mbah Jum berkurang setelah terjadi kecelakaan bis dan memusnahkan separuh isi kampung. Pekerjaan yang membutuhkan kekuatan pundak, punggung, dan pinggul sudah tidak dapat ia lakukan. Setelah kecelakaan itu, Bu Guru meninggal tetapi masih ada anak dan cucu Bu Guru yang mau memperhatikan Mbah Jum.
Suatu ketika, Mbah Jum hendak mencari daun waru. Sebelumnya dia merasakan sakit di dada kirinya dan menyangkanya hanya masuk angin. Sakit di dadanya itu tidak lagi dia pikirkan. Dalam perjalanannya, ada beberapa kuli bangunan yang sedang istirahat di sebuah warung dan menyapanya, tentu saja Mbah Jum membalasnya walaupun dengan suara yang tertelan oleh bising kendaraan dan angin yang berhembus kencang. Akhirnya, sampailah Mbah Jum di sebuah belokan tempat dia mencari daun waru.
Pohon waru yang tinggi memang berdiri kokoh di sana, dan Mbah Jum langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting yang bisa digapai. Beberapa kuli bangunan juga membantunya saat itu. Mbah Jum terus menengadah dan mencari daun waru sebanyak-banyaknya demi untuk mendapatkan uang Rp 3000,00. Seketika, Mbah Jum merasakan sakit di dada kirinya dan di situlah ajal menjemputnya. Mbah Jum sudah tidak merasakan apa-apa lagi.

No comments:

Post a Comment