Translate

Saturday, May 4, 2013

ESAI KRTIK PROSA Andini Risa Pratiwi

MEMBACA REALITAS  “PELAJARAN MENGARANG”
OLEH:
Andini Risa Pratiwi – 100211404906

Apa yang ada dibenak anda setiap kali membaca karya Seno Gumira Ajidarma (SGA)? Jika pertanyaan itu terlontar untuk saya maka saya akan menjawab bahwa saya memasuki suatu “dimensi baru”. Setiap kali membaca karya Seno, saya serasa melihat sejarah, konflik masyarakat, kekerasan, dan kehidupan urban. Misalnya saja  cerpen “saksi mata” yang mengisahkan seseorang dicongkel matanya oleh sekelompok ninja menggunakan sendok. Cerpen itu mengingatkan saya atas peristiwa penculikan misterius yang sering terjadi pada masa pemerintahan orde baru dulu.

Kemudian lahirnya cerpen “pelajaran mengarang” yang saya rasa berangkat dari tema-tema kehidupan urban. Dalam cerpen tersebut, Seno menggambarkan sosok tokoh “Sandra” yang merasa gelisah ketika harus mengerjakan tugasnya untuk “mengarang” sebuah cerita dari tiga judul yang telah ditentukan “bu Tati”. Konflik muncul ketika ingatan dan cerita-cerita Sandra akan kehidupan sang ibu sebagai seorang pelacur. Berikut ini terdapat petikan dari cerpen “pelajaran mengarang”.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang besar, karena ia harus betul - betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tuti, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan  kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra harus mengarang. Dan kini, Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan. 
Karya Seno ini menarik sekali untuk dikaji lebih dalam. Pada cerpen “Pelajaran Mengarang” saya dapat melihat cermin kehidupan urban seperti yang saya ungkapkan di atas. Oleh sebab itu, saya mencoba mengaitkan kehidupan pengarang, karya, dan masyarakat untuk memperoleh pemahaman yang saya inginkan tentang “pelajaran mengarang” ini. Dengan kata lain, saya menggunakan pendekatan mimetik, yaitu memahami karya sastra sebagai tiruan atau sebagai pembayangan dunia kehidupan nyata. 
Hal yang pertama adalah peran pengarang dalam cerpen tersebut. Seno merupakan sosok pembangkang baik dalam lingkungan keluarga maupun sekolah. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib paduan suara, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong.
Ketika beranjak dewasa, kehidupan Seno yang bisa dibilang “bebas” dan posisi dia sebagai seorang jurnalis tampaknya sangat mempengaruhi proses kepengarangannya. Cerpen “Pelajaran Mengarang” merupakan salah satu contoh karya Seno yang cukup menggambarkan kehidupan urban secara jelas seperti hadirnya pelacur dan laki-laki hidung belang yang diceritakan dalam cerpen tersebut.
            Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton      sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka
...
            DITUNGGU DI MANDARIN
            KAMAR: 505, PKL 20.00
     
            Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan,         ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari.
Penggambaran Seno tentang cerpen tersebut saya rasa cukup detail, melihat cara Seno menceritakan kehidupan seorang wanita pelacur dengan satu anak. Ketika membaca cerpen tersebut saya serasa mengerti pemikiran dan perasaan dari ibu Sandra yang notabene seorang pelacur. Seno menggambarkan sosok ibu Sandra yang berperilaku kasar dan berwatak keras tapi begitu mengasihi Sandra, anaknya.
            “Mama, apakah Sandra punya Papa?”
            “Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau  jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
...
            Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang    wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki      kanannya selalu naik keatas kursi
            Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis   sendirian.
...
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

Seno sukses dalam menciptakan cerita kehidupan-kehidupan urban dengang bumbu realita yang terjadi di tengah masyarakat kita. Dalam karya “Pelajaran Mengarang” Seno menceritakan seorang anak yang memiliki beban batin dengan kehidupan ibunya yang berprofesi sebagai pelacur, hingga ia hanya bisa menulis “Ibuku seorang pelacur” dalam kertas mengarangnya. Melalui Sandra, saya dapat melihat seorang anak yang cenderung ingin mencari suatu kebenaran, “Mama, apakah Sandra punya Papa?”. Sandra ingin menemukan jati dirinya ditengah kehidupan ibunya yang seorang pelacur sehingga segala pemikiran muncul dalam kepalanya membuatnya selalu gelisah. Sandra yang seharusnya mendapat kasih sayang kedua orang tua dan nenek malah tidak mendapatkannya. Cerpen “Pelajaran Mengarang” menampakkan adanya semacam kegelisahan yang terasa menjadi realitas di panggung kehidupan kita, tentang kehidupan bebas masyarakat kita.
Kegelisahan lain yang muncul bila dikaitkan dengan masyarakat kita adalah adanya dekadensi moral pada saat ini. Materialisme tampaknya menjadi alasan orang-orang untuk menghalalkan berbagai profesi. Kehidupan ekonomi sebagian besar masyarakat yang masih susah akibat gagalnya pemerintah dalam menjalankan roda ekonomi negara. Oleh sebab itu, masyarakat memerlukan penanganan pemerintah dalam menyelesaikan konflik sosial negara.
Dari pemaparan-pemaparan di atas dapat saya simpulkan bahwa sastra adalah klise bagi realitas. Pada hakikatnya sastra mengajarkan kehidupan yang terkait dengan realitas yang dulu atau tengah terjadi dalam sebuah kehidupan masyarakat.
Sekilas
Ada hal yang saya tangkap dari cerpen ini tentang dunia pendidikan. Mengingat Seno waktu SD, selalu duduk di baris tengah agak depan. Gurunya selalu mengatakan ”Yang pintar duduk di belakang, yang kurang bisa menangkap pelajaran duduk di depan,”. Sehingga Seno kecil selalu diposisikan sebagai mediocre, atau “golongan tengah”. Itu membuatnya tidak pernah merasa hebat. Sebaliknya, selalu merasa kurang. Saya tergelitik dengan pengakuan beliau yang pernah saya basa di salah satu surat kabar tentang dunia SD-nya waktu itu. Dari situ, saya beranggapan bahwa Seno mengkritik tindakan guru yang memetak-metakkan siswa sesuai dengan kepintaran.
            Dalam pengakuannya, Seno Gumira Adjidarma,  Cerpen Pelajaran mengarang adalah sebuah studi         tentang tehnik menulis, tepatnya teknis  mengarang, katanya dalam tulisannya Tentang Empat Cerpen dalam buku Trilogi Insiden.


SUMBER:

No comments:

Post a Comment