Translate

Sunday, April 28, 2013

ESAI KRITIK PUISI Moh. Fikri Zulfikar

PERGANTIAN REZIM DALAM SAJAK-SAJAK TAUFIK ISMAIL
Oleh: Moh. Fikri Zulfikar

            Banyak penyair dalam menulis sajak-sajaknya terinspirasi dari kehidupan sosial yang ada disekitar penyair. Keadaan sosial dan politik dalam perkembangan dunia sastra juga berperan penting dalam keterbentukan karya sastra. Karya sastra bisa terbentuk karena perasaan yang dialami dari pengarang, mulai dari rasa prihatin, rasa marah, rasa sedih dan perasaan yang lain yang di rasakan oleh pengarang.


            Taufik Ismail adalah penyair yang tergolong dalam sastrawan tahun 60an. Tapi karyanya tak berhenti pada tahun 60an tersebut. Beliau tetap berkarya hingga saat ini. Sehingga ada yang menyebut taufik Ismail ini sastrawan yang tak bisa ditentukan oleh waktu. Dalam penulisan karyanya, Taufik Ismail menggunakan perenungan batinnya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat sehingga puisi-puisinya banyak bertemakan protes sosial dan gejolak-gejolak sosial yang terjadi pada masa itu. Namun dengan kekuatan batin yang tinggi dari Taufik Ismail ini banyak juga terlahir sajak-sajak yang bertemakan Ketuhanan yang sering dinyanyikan oleh Band Bimbo.
 Pada tahun 1966 saat pergolakan pemerintah rezim Soekarno, Taufik Ismail banyak menyoroti fenomena-fenomena yang terjadi pada tahun-tahun sebelum tumbangnya rezim Soekarno. Diantaranya taufik ismail menyoroti kehidupan para mahasiswa yang dengan berani menentang pemerintahan yang bobrok karena melihat banyak penyimpangan dari para pejabat pemerintah yang mulai memperkaya diri. Taufik Ismail, semasa demotrasi mahasiswa menentang Orde Lama selalu melibatkan diri dalam proses demonstrasi. Mereka selalu mencatat apa yang dilihat dan didengarnya.  Terjadi insiden-insiden yang dilukiskan Taufik Ismail pada saat pergolakan antara mahasiswa melawan pemerintahan pada tahun itu, seperti puisinya yang berjudul “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya”.
“Tadi siang ada yang mati.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Tebakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu

Kutipan puisi diatas menggambarkan fenomena pada tahun 1966. Dalam puisinya Taufik Ismail memposisikan dirinya sebagai seorang tukang rambutan yang pernah dia lihatnya pada saat mahasiswa berdemo di depan istana merdeka. Tukang rambutan yang dengan baiknya memberikan semua barang dagangannya kepada mahasiswa. Tukang rambutan itu ikhlas memberikan rambutannya sebagai rasa terimakasihnya terhadap mahasiswa karena telah memperjuangkan nasibnya.  Penggunaan kata “Hidup pak rambutan!” merupakan realitas sosial yang menggambarkan kritik atas penindasan terhadap rakyat. Menggambarkan protes atas penguasaan kaum penguasa terhadap rakyat.
“Hidup pak rambutan! Sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
                Realitas sosial dalam memperjuakan kelas selalu ada keterkaitan rakyat sebagai pihak yang diperjuangkan. Puisi Taufik Ismail di atas “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” menggambarkan sebuah perjuangan kelas oleh mahasiswa dan rakyat merasa berterima kasih atas perjuangan yang berhasil, walaupun memakan korban.
“Tadi siang ada yang mati.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah

Penggalan puisi di atas, inilah bait yang menggambarkan meninggalnya Arief Rahman Hakim, 23 tahun, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI tingkat IV yang meninggal ditembak di depan Istana kemarin dimakamkan hari ini. Massa pelajar, pemuda, mahasiswa dan rakyat yang mengantar jenazah berkilometer-kilometer panjangnya dari Salemba 4 ke kuburan Blok P Kebayoran Baru.
Karya Taufik Ismail dalam sebuah sajak yang bertemakan kritik sosial ini tak berhenti pada pergantian rezim Soekarno saja. Pergolakan politik di negri ini mencuat kembali pada tahun 1998 saat orde baru berkuasa, di saat peran mahasiswa dalam menentukan keberlanjutan negri ini sedang berkecamuknya. Mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan di negri ini. Mahasiswa menentukan kembali akan jatuhnya Rezim Soeharto dengan orde barunya.
Keadan tahun 1998 ini digambarkan kembali oleh Taufik Ismail dalam sajak-sajaknya yang menyuarakan pengorbanan mahasiswa untuk menggulingkan rezim soeharto. Keadaan ini tergambar pada puisinya yang berjudul “Ketiga Sebagai Kakek di tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu”. Dalam baris  1—6 menyatakan:
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersamasama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Dalam puisi diatas menggambarkan detik-detik jatuhnya Soeharto, ketikan ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR dan mensuarakan aspirasinya. Lalu pada baris selanjutnya pada baris 7—9 juga menyatakan:
Terpicu oleh kawankawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Dalam cuplikan diatas menggambarkan tragedi Trisakti, ketika aparat bersenjata memasuki kampus Trisakti dan memberangus para mahasiswa yang berdemo yang juga sebagai saksi kekejaman rezim soeharto dan karena tragedi itu pula membuat mahasiswa seluruh Indonesia geram atas sikap otoriter pemerintah soeharto kemudian mahasiswa pada akhirnya tumpah ruah menyerbu DPR untuk menggulingkan soeharto.
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daundaun hijau dan langit biru, katamu
Daundaun kuning dan langit kuning, kata orangorang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orangorang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncangguncang genggaman orangorang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibarngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
Pada puisi baris 10—27 ini menggambarkan tuntutan-tuntutan mahasiswa karena beberapa ulah aparat pemerintah yang tak adil dalam memerintah negeri ini. Juga menggambarkan pengorbanan para mahasiswa yang meninggalkan kuliahnya demi memperjuangkan aspirasi rakyat yang dibelanya. Mereka tidak peduli akan ujian, tak peduli nyawa mereka melayang karena tujuannya hanya satu yaitu Indonesia yang lebih baik.
            Taufik Ismail dalam menggambarkan dua suasana yang menggambarkan peristiwa yang sama yaitu penggulingan Presiden. Namun berbedanya pada presiden yang digulingkan serta pada tahun yang berbeda pula. Semangat Taufik Ismail tak surut dalam menuliskan puisi-puisinya yang bernadakan kritik sosial yang digambarkannya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kesejarahan Indonesia. Gaya penulisannya tetap khas dan tidak begitu berbeda antara puisinya yang ditulisnya pada tahun 1966 dengan puisi yang ditulisnya tahun 1998. Serta objek yang disoroti sebagai pahlawan jatuhnya sebuah rezim dalam puisi tetapa pada kekuatan para mahasiswa. Hingga Taufik Ismail menyimpulkan dalam puisinya bahwa mahasiswa berperan penting dalam penggulingan sebuah rezim di Indonesia, ini di buktikan dalam puisi yang di tulisnya pada tahun 1998. Yang berjudul “Takut 66, Takut 98”.
TAKUT 66, TAKUT 98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa

takut '66, takut '98 1998

No comments:

Post a Comment