PERGANTIAN REZIM DALAM SAJAK-SAJAK TAUFIK ISMAIL
Oleh: Moh. Fikri Zulfikar
Oleh: Moh. Fikri Zulfikar
Banyak penyair dalam menulis sajak-sajaknya terinspirasi
dari kehidupan sosial yang ada disekitar penyair. Keadaan sosial dan politik
dalam perkembangan dunia sastra juga berperan penting dalam keterbentukan karya
sastra. Karya sastra bisa terbentuk karena perasaan yang dialami dari
pengarang, mulai dari rasa prihatin, rasa marah, rasa sedih dan perasaan yang
lain yang di rasakan oleh pengarang.
Taufik Ismail adalah penyair yang tergolong dalam
sastrawan tahun 60an. Tapi karyanya tak berhenti pada tahun 60an tersebut.
Beliau tetap berkarya hingga saat ini. Sehingga ada yang menyebut taufik Ismail
ini sastrawan yang tak bisa ditentukan oleh waktu. Dalam penulisan karyanya,
Taufik Ismail menggunakan perenungan batinnya terhadap fenomena-fenomena yang
terjadi dalam masyarakat sehingga puisi-puisinya banyak bertemakan protes
sosial dan gejolak-gejolak sosial yang terjadi pada masa itu. Namun dengan
kekuatan batin yang tinggi dari Taufik Ismail ini banyak juga terlahir
sajak-sajak yang bertemakan Ketuhanan yang sering dinyanyikan oleh Band Bimbo.
Pada tahun 1966 saat pergolakan pemerintah
rezim Soekarno, Taufik Ismail banyak menyoroti fenomena-fenomena yang terjadi
pada tahun-tahun sebelum tumbangnya rezim Soekarno. Diantaranya taufik ismail
menyoroti kehidupan para mahasiswa yang dengan berani menentang pemerintahan
yang bobrok karena melihat banyak penyimpangan dari para pejabat pemerintah
yang mulai memperkaya diri. Taufik Ismail,
semasa demotrasi mahasiswa menentang Orde Lama selalu melibatkan diri dalam
proses demonstrasi. Mereka selalu mencatat apa yang dilihat dan didengarnya. Terjadi
insiden-insiden yang dilukiskan Taufik Ismail pada saat pergolakan antara
mahasiswa melawan pemerintahan pada tahun itu, seperti puisinya yang berjudul
“Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya”.
“Tadi
siang ada yang mati.
Dan
yang mengantar banyak sekali
Ya.
Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang
dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai
bensin juga turun harganya
Sampai
kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka
kehausan dalam panas bukan main
Tebakar
muka di atas truk terbuka
Saya
lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Kutipan puisi diatas
menggambarkan fenomena pada tahun 1966. Dalam puisinya Taufik Ismail
memposisikan dirinya sebagai seorang tukang rambutan yang pernah dia lihatnya
pada saat mahasiswa berdemo di depan istana merdeka. Tukang rambutan yang
dengan baiknya memberikan semua barang dagangannya kepada mahasiswa. Tukang
rambutan itu ikhlas memberikan rambutannya sebagai rasa terimakasihnya terhadap
mahasiswa karena telah memperjuangkan nasibnya.
Penggunaan kata “Hidup pak rambutan!” merupakan realitas sosial yang
menggambarkan kritik atas penindasan terhadap rakyat. Menggambarkan protes atas
penguasaan kaum penguasa terhadap rakyat.
“Hidup
pak rambutan! Sorak mereka
“Terima
kasih, pak, terima kasih!
Bapak
setuju kami, bukan?
Saya
mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Realitas sosial dalam memperjuakan kelas
selalu ada keterkaitan rakyat sebagai pihak yang diperjuangkan. Puisi Taufik
Ismail di atas “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” menggambarkan sebuah
perjuangan kelas oleh mahasiswa dan rakyat merasa berterima kasih atas perjuangan
yang berhasil, walaupun memakan korban.
“Tadi siang ada yang mati.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Penggalan puisi di
atas, inilah bait yang menggambarkan meninggalnya Arief Rahman Hakim, 23 tahun,
mahasiswa Fakultas Kedokteran UI tingkat IV yang meninggal ditembak di depan
Istana kemarin dimakamkan hari ini. Massa pelajar, pemuda, mahasiswa dan rakyat
yang mengantar jenazah berkilometer-kilometer panjangnya dari Salemba 4 ke
kuburan Blok P Kebayoran Baru.
Karya Taufik Ismail
dalam sebuah sajak yang bertemakan kritik sosial ini tak berhenti pada
pergantian rezim Soekarno saja. Pergolakan politik di negri ini mencuat kembali
pada tahun 1998 saat orde baru berkuasa, di saat peran mahasiswa dalam menentukan
keberlanjutan negri ini sedang berkecamuknya. Mahasiswa kembali turun ke jalan
untuk menyuarakan keadilan di negri ini. Mahasiswa menentukan kembali akan
jatuhnya Rezim Soeharto dengan orde barunya.
Keadan tahun 1998 ini
digambarkan kembali oleh Taufik Ismail dalam sajak-sajaknya yang menyuarakan
pengorbanan mahasiswa untuk menggulingkan rezim soeharto. Keadaan ini tergambar
pada puisinya yang berjudul “Ketiga Sebagai Kakek di tahun 2040, Kau Menjawab
Pertanyaan Cucumu”. Dalam baris 1—6
menyatakan:
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR
bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan
mengepalkan tinju
Bersama‐sama
membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama
bab yang baru
Seraya
mencat spanduk dengan teks yang seru
Dalam puisi diatas
menggambarkan detik-detik jatuhnya Soeharto, ketikan ribuan mahasiswa menduduki
gedung DPR dan mensuarakan aspirasinya. Lalu pada baris selanjutnya pada baris
7—9 juga menyatakan:
Terpicu oleh kawan‐kawan
yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di
tanah berdebu
Dihajar
dusta dan fakta dalam berita selalu
Dalam cuplikan diatas
menggambarkan tragedi Trisakti, ketika aparat bersenjata memasuki kampus
Trisakti dan memberangus para mahasiswa yang berdemo yang juga sebagai saksi
kekejaman rezim soeharto dan karena tragedi itu pula membuat mahasiswa seluruh
Indonesia geram atas sikap otoriter pemerintah soeharto kemudian mahasiswa pada
akhirnya tumpah ruah menyerbu DPR untuk menggulingkan soeharto.
Inilah pengakuan generasi kami,
katamu
Hasil penataan dan penataran yang
kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun‐daun
hijau dan langit biru, katamu
Daun‐daun
kuning dan langit kuning, kata orang‐orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku,
katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata
orang‐orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu
jadi mata dadu
Yang diguncang‐guncang
genggaman orang‐orang itu
Dan nomor yang keluar telah
ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis
yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian
semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar‐ngibarkan
benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak
struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang
memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja
dulu
Kita
percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
Pada puisi baris
10—27 ini menggambarkan tuntutan-tuntutan mahasiswa karena beberapa ulah aparat
pemerintah yang tak adil dalam memerintah negeri ini. Juga menggambarkan
pengorbanan para mahasiswa yang meninggalkan kuliahnya demi memperjuangkan
aspirasi rakyat yang dibelanya. Mereka tidak peduli akan ujian, tak peduli
nyawa mereka melayang karena tujuannya hanya satu yaitu Indonesia yang lebih
baik.
Taufik
Ismail dalam menggambarkan dua suasana yang menggambarkan peristiwa yang sama
yaitu penggulingan Presiden. Namun berbedanya pada presiden yang digulingkan
serta pada tahun yang berbeda pula. Semangat Taufik Ismail tak surut dalam
menuliskan puisi-puisinya yang bernadakan kritik sosial yang digambarkannya
dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kesejarahan Indonesia. Gaya
penulisannya tetap khas dan tidak begitu berbeda antara puisinya yang
ditulisnya pada tahun 1966 dengan puisi yang ditulisnya tahun 1998. Serta objek
yang disoroti sebagai pahlawan jatuhnya sebuah rezim dalam puisi tetapa pada
kekuatan para mahasiswa. Hingga Taufik Ismail menyimpulkan dalam puisinya bahwa
mahasiswa berperan penting dalam penggulingan sebuah rezim di Indonesia, ini di
buktikan dalam puisi yang di tulisnya pada tahun 1998. Yang berjudul “Takut 66,
Takut 98”.
TAKUT 66, TAKUT
98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut '66, takut '98 ‐
1998
No comments:
Post a Comment