Translate

Tuesday, April 30, 2013

ESAI KRITIK PROSA Sofiatun

KETIDAKADILAN YANG BERBALUT SENYUM
dari Karyamin oleh Ahmad Tohari
Oleh: Sofiatun

Cerita yang mewakili sebuah kehidupan seperti itulah kiranya ketika kita membaca cerita Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Banyak pengarang yang menampilkan kehidupan sehari-hari dalam karya sastranya. Baik itu diungkapkan dengan apa adanya dengan kesederhanaan yang tercipta dari peristiwa yang ada, atau mungkin diungkapkan dengan penuh dramatis yang sangat memilukan hati. Cerita pendek adalah cerita yang selesai dibaca dalam satu kali duduku. Namun tidak demikian  dengan Senyum Karyamin, ketika dibaca sekilas ini adalah cerita sederhana yang terjadi dilingkungan kita dan hanya sekedar menjadi penglihatan tanpa ada hal yang dilakukan setelah kita melihatnya. Di sini ahmad Tohari memberikan hal lain dari sebuah peristiwa yang sangat sederhana.


Pada awal cerita telah diketahui bahwa peran utama dalam cerpen ini ialah seseorang yang bernama Karyamin. Karyamin yang memiliki pekerjaan sebagai pengangkut batu kali, dalam cerpen ini diceritakan dalam satu waktu tapi dapat diketahui bagaimana kehidupan seorang Karyamin. Disamping menceritakan tentang Karyamin, dalam cerpen ini juga dideskripsikan sesuatu yang berada disekitarnya yaitu tempat, situasi, dan waktu dengan sangat detail, sehingga pembaca yang membaca dapat mengimajinasikannya, tanpa keluar dari cerita. Misalnya pendeksripsian pada keadaan ketika Karyamin mengangkut batu dari keranjang kemudian terjatuh, atau ketika mendeskripsikan keadaan Karyamin.
“Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya uncul menyembul kulit” 
Dalam cerpen ini Karyamin sedikit memusatkan perhatiannya oleh sebuah burung paruh udang yang terbang disekitarnya. Mungkin pikirnya burung tersebut agak mengesalkan karena telah membuatnya jatuh, tapi kemudian rasa kesalnya luntur saat si burung ini mencoba menangkap seekor ikan dari danau. Lebih jauh Karyamin memikirkan tentang si burung ini, bahwa sama dengan dirinya burung ini tengah mencari makan untuk anak-anaknya. Menurut saya, pengarang menghadirkan burung paruh udang ini untuk mencitrakan diri seorang Karyamin lebih jauh, di sini Karyamin memang terlihat cukup perhatian dengan seekor burung, dan mungkin Karyamin terlalu pemikir.
“mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.” 
Berdasar kutipan tersebut ada kalimat yang cukup menarik, yaitu Karyamin merasa iri hati. Karyamin seolah-olah ingin menjadi seperti burung paruh udang tersebut yang dengan menggunakan sayap dan paruhnya untuk membawa makanan ke tempat tinggalnya, hanya terbang dan menangkap ikan kemudian pulang ke sarangnya dan menikmati makanan bersama anak-anaknya. Sementara Karyamin susah payah merauk batu yang tidak memiliki banyak untung belum tentu mendapat uang, apalagi untuk makan anak-isterinya.
Jika dilihat lebih detail mengenai burung si paruh udang yang berwarna biru mengkilap, berdada putih, dan berparuh merah. Lihatlah lebih dekat, ada warna merah, putih, biru yang merupakan warna dari sebuah bendera yang telah menjajah negara Indonesia selaman 3,5 abad. Pengarang ingin menyampaikan bahwa sampai saat ini kita masih mengalami penjajahan bukan penjajahan atas perebutan kekuasaan seperti pada zaman dahulu kala tapi penjajahan atas kelaparan yang tak pernah habis kehadirannya. Kelaparan yang terjadi di depan mata sementara orang lain dengan begitu mudah membuah makanan yang tidak habis dimakan. Hal inilah yang mungkin mengakibatkan muncul pepatah ‘kalau orang miskin berkata hari ini makan apa tapi kalau orang kaya berkata hari ini makan siapa’.
Cerpen yang berjudul Senyum Karyamin di sini rupanya memang penekanan khusus pada senyum si tokoh Karyamin, seorang pengumpul batu. Mungkin diawal-awal ada anggapan bahwa cerita ini akan berjalan ceria dan ringan karena kata “senyum” merupakan kata positif, memang benar positif tapi setelah membaca cerita ini dapat dilihat Karyamin selalu membawa sebuah senyuman untuk sedikit meringankan hidupnya yang ‘berat’.
“Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakkan. Pagi itu Senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.” 
Pengumpul batu saja dapat tertawa bergembira dalam pekerjaannya yang berat, yang merasakan lapar teramat sangat setelah beberapa hari tidak makan karena batunya yang tidak terjual dan juga kerjanya yang sangat membuat lelah setiap hari, apalagi saya yang hanya membacanya saja. Senyum selain merupakan ibadah yang paling murah, juga dapat membuat hidup tidak terlalu berat karena banyak sekali manusia yang selalu mencemaskan hidup hingga tidak melihat sekitar dan selalu murung. Kembali pada cerita ini, dalam keadaan lapar dan kunang-kunang pun Karyamin tetap tersenyum, ia tidak mau menambahkan beban pada dirinya dan juga pada Saidah yang selalu dihutanginya dan teman-temannya.
 ”Jadi kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
“Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang berhasil didorongnya ke dalam.” 
Karyamin berwatak sangat peduli menurut saya lewat kutipan tersebut. Setelahnya Karyamin berjalan pulang tanpa alasan, mungkin juga karena sudah jadi takdir pengarang sehingga Karyamin akhirnya pulang dengan alasan menemui istrinya. Sebelumnya, pada awal cerita dikisahkan pula tentang isteri Karyamin yang sering didatangi oleh beberapa pria dengan alasan klise, entah itu benar atau tidak karena hanya anggapan teman-teman Karyamin.
         ”Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.” 
Walaupun tidak diceritakan oleh pengarang tentang watak dari istri Karyamin, sepertinya Karyamin cukup beruntung memiliki istri yang menjadi perhatian oleh beberapa orang. Meski berbahaya, setidaknya Karyamin yang seorang tukang angkut batu itu memiliki istri yang sampai temannya saja iri padanya. Di akhir kisah, Karyamin yang hendak kembali kerja karena tidak tahu apa gunanya untuk pulang dicegat oleh Pak Pamong. Ia bermaksud meminta sumbangan pada Karyamin, tapi ia mengira bahwa Karyamin menghindarinya.
         “Di gerembul ini hanya kamu yang belum berpartisiasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit.”
Kemudian Karyamin tersenyum dan Pak Pamong merasa tersindir. Karyamin justru tertawa sekerasnya, ia sempoyongan, dan akhirnya jatuh ke lembah. Senyum Karyamin yang terakhir itu memiliki makna. Yaitu untuk makan sehari-harinya saja bagi Karyamin belum tentu bisa, jelas di cerita ini juga digambarkan bagaimana Karyamin matanya kunang-kunang, telinganya bising, perutnya bunyi karena lapar. Dengan keadaan yang demikian, ditambah ada seseorang yang menagih uang padanya pastikan mengundang emosi. Bila dipikir, apa juga yang dapat ia beri untuk menolong orang-orang kelaparan itu padahal Karyamin juga termasuk orang-orang kelaparan.
Sedikit saat kita bisa mencurigai bagaimana cara pengarang memasukkan identitas dirinya ke dalam cerpen adalah ketika melihat kutipan berikut
“maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik motif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.”
Mungkinkah pernah muncul pertanyaan mengapa harus ada kopiah di sana. Jika dilihat dari latar belakang pengarang yang seorang islami mungkin di sini lah pengarang ingin memerankan sedikit dirinya terhadap cerita yang ia tuliskan bahwa kopiah adalah salah satu ciri yang memungkinkan untuk menggambarkan islami dari pengarang. Pengarang mungkin ingin tetap memunculkan identitas dirinya untuk tetap hadir dalam cerita.
Ada sedikit kalimat yang diulang dalam cerpen ini yaitu “... dengan cara menertawakan diri mereka sendiri”. Pesan yang sangat dalam yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca sehingga pengarang mengulang kata-kata tersebut sampai tiga kali. Pesan yang dimaksud ialah bahwa dengan menertawakan diri mereka sendiri itu merupakan satu-satunya hal yang bisa dilakukan secara bebas ditengah kesengsaraan yang sedang dialami. Kesengsaraan orang-orang kecil (pekerja kali) sementara para wakil rakyat yang seharusnya bisa memfasilitasi rakyat malah bersenang-senang dengan kesenangannya. “menertawakan diri sendiri” (menertawakan ketidakadilan yang tidak bisa diadilkan).
Cerpen Senyum Karyamin ini lebih menekankan pada senyuman Karyamin yang terakhir, di mana ketidakadilan terjadi padanya yang segelintir dari masyarakat miskin. Ketidakadilan sang tengkulak yang menggelapkan uang untuk Karyamin ataupun pemanggul batu lainnya juga ketidakadilan saat menagih uang pada Karyamin, padahal ia juga kelaparan. Ia hanya dapat tersenyum menerima nasibnya.
SENYUM KARYAMIN SENYUM YANG SEBENARNYA ATAU HARAPAN PALSU
sekilas orang akan melihat saat-saat

No comments:

Post a Comment